Tulisan
Softskill Etika Profesi Akuntansi
Tugas
Wajib Minggu ke 2
Yulita
Maulida/21209675/4EB13
Perilaku
Etika dalam Bisnis
Etika
bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap
karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
Paradigma etika dan bisnis adalah dunia
yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis
atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat
ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah
competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
A. Lingkungan Bisnis Yang Mempengaruhi Perilaku Etika
Tujuan dari sebuah bisnis kecil adalah untuk
tumbuh dan menghasilkan uang.Untuk melakukan itu,
penting bahwa semua karyawan di papan dan bahwa kinerja mereka dan perilaku
berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.Perilaku karyawan, bagaimanapun, dapat
dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar bisnis.Pemilik usaha kecil perlu
menyadari faktor-faktor dan untuk melihat perubahan perilaku karyawan yang
dapat sinyal masalah, yaitu sebagai berikut :
a) Budaya
Organisasi
Keseluruhan budaya perusahaan dampak bagaimana
karyawan melakukan diri dengan rekan kerja, pelanggan dan pemasok. Lebih dari sekedar lingkungan
kerja, budaya organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana
pertumbuhan perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada
karyawan. "Nada di atas"
sering digunakan untuk menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada positif dapat membantu karyawan menjadi
lebih produktif dan bahagia. Sebuah nada negatif dapat menyebabkan
ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian atau vandalisme.
b) Ekonomi Lokal
Melihat seorang karyawan dari pekerjaannya
dipengaruhi oleh keadaan perekonomian setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan ekonomi booming,
karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka dan kinerja
cermin itu. Di sisi lain, saat-saat yang
sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi takut dan cemas
tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini mengarah pada kinerja
yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa karyawan, bagaimanapun, rasa takut
kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan yang lebih
baik.
c) Reputasi Perusahaan dalam
Komunitas
Persepsi karyawan tentang bagaimana perusahaan
mereka dilihat oleh masyarakat lokal dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan
menyadari bahwa perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin
juga seperti itu. Ini adalah
kasus hidup sampai harapan. Namun, jika
perusahaan dipandang sebagai pilar masyarakat dengan banyak goodwill, karyawan
lebih cenderung untuk menunjukkan perilaku serupa karena pelanggan dan pemasok
berharap bahwa dari mereka.
d)Persaingan di Industri
Tingkat daya saing dalam suatu industri dapat
berdampak etika dari kedua manajemen dan karyawan, terutama dalam situasi di
mana kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, perilaku
etis terhadap pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke bawah sebagai karyawan
berebut untuk membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang stabil di mana menarik
pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi untuk meletakkan etika
internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.
B. Kesaling-Tergantungan antara Bisnis Dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang
harmonis dan kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita
berpijak, masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim
dengan planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan
sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak
membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina,
melainkan ketergantungan yang terus diusung.
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan,
egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya
memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika
manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu
keunggulan ras, agama, suku, ekonomi dsb.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya habis-habisan.
Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja keras. Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang belakangan lebih menarik dan lebih menantang.
Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab. Perbudakan dewasa ini lebih modern, kendati tetap ditempuh dengan cara-cara yang zalim.
Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama bukan karena kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka agama lagi-lagi merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi untuk memperbudak jiwa manusia.
Di negeri ini, berapa banyak fatwa mufti negara, undang-undang dan peraturan daerah bernuansa agama yang tidak masuk akal yang menghendaki rakyat senantiasa bergantung kepada mereka? Keadaan demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal. Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian Indonesia.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya habis-habisan.
Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja keras. Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang belakangan lebih menarik dan lebih menantang.
Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab. Perbudakan dewasa ini lebih modern, kendati tetap ditempuh dengan cara-cara yang zalim.
Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama bukan karena kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka agama lagi-lagi merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi untuk memperbudak jiwa manusia.
Di negeri ini, berapa banyak fatwa mufti negara, undang-undang dan peraturan daerah bernuansa agama yang tidak masuk akal yang menghendaki rakyat senantiasa bergantung kepada mereka? Keadaan demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal. Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian Indonesia.
Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada negara luar. Kucuran dana negara asing kepada
kita bukanlah sesuatu yang gratis. No free lunch. Dana punia dan
pinjaman mereka seraya mendesakkan kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa
dipungkiri. Barangkali Paman Sam dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang
setia dengan garis iman Wahhabi tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada
Indonesia. Pemikiran-pemikiran sekuler Barat
yang telah merasuki dunia Islam misalnya, dengan ideologi kapitalisme yang
mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam telah menjadikan dunia Islam
menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi terhadap Barat. Sebagai
jalan keluar, sebagian orang sering mengalami eskapisme untuk
memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan yang diambil adalah dengan
penyerahan diri kepada sebuah “otoritas transedental” (baca: otoritas mufti
negara) yang menjanjikan kesenangan eskatologis.
Sebagian yang lain meresponnya dengan melakukan tindakan-tindakan
anarkis dan vigilantisme. Seperti pernah dituturkan Amrozi dalam Koran Tempo
tahun 2003, peledakan bom Bali adalah untuk menjaga kehidupan beragama.
Pola relasi negara kita dengan negara luar layak dibenahi. Bangsa
kita harus memiliki keberanian yang cukup untuk bisa pula mendesakkan cita-cita
negara kita sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada mereka. Bangsa
kita harus memiliki nyali yang cukup untuk menolak agenda mereka yang bisa
merusak kemerdekaan yang telah susah payah diraih. Hubungan luar negeri kita
harus berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan, sebagai
bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan saja belum
cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka, kebebasan
untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara ini, bahkan warga seluruh
dunia memiliki kebutuhan individu. Kebutuhan akan makan, tempat tinggal yang
nyaman, pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan individu atau segelintir orang saja,
melainkan seluruh orang yang hidup di dunia ini membutuhkannya.
Setiap orang tidak akan mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa
semangat gotong-royong, kesalingtergantungan, kerjasama, kolaborasi dengan orang lain.
C. Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di
masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas 4 sampai ke
daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang
sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi
adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan
segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya
diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan
nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan
dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para
pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada
sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu
sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha
perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional,
meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi.
Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha
memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena
pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis
berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan
etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat
tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun
seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika
dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu
dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan
moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan
masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat
perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan
bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis
di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral
dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah
pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang
harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah
kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia.
Pencampuradukan antara wilayah etika danmoral dengan wilayah hukum seringkali
menyebabkan kebanyakan orang Indonesia 5 tidak bisa membedakan antara perbuatan yang
semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan
yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak
dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan
moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah
didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak,
pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
D.Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Berikut perkembangan etika bisnis :
1.Situasi Dahulu :
Pada awal sejarah
filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki
bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan
membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan :
2. Masa Peralihan :
Tahun 1960-an ditandai pemberontakan terhadap
kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota
Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi
perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan
mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang
paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS :
3. Etika Bisnis Lahir di AS :
Tahun 1970-an sejumlah
filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis
dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunia bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa :
Tahun 1980-an di Eropa
Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun
kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta
sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global :
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global :
Tahun 1990-an tidak
terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh
dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and
Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral
yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana
diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian Diri
1. Pengendalian Diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau
memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan
yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga
harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
"etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility)
Pelaku
bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya
dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan
lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh
pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya
excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan
tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung
jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya,
terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun
demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi,
tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan
kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki
akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan
dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat
jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah,
sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect
terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu
ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan
Berkelanjutan"
Dunia
bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi
perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas
pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan
saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku
bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi
lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan
curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa
dan negara.7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar Artinya, kalau pelaku
bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena
persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari
"koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang
salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan
"komisi" kepada pihak yang terkait.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau
pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh)
karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece"
dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data
yang salah.
Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang
terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar
Golongan Pengusaha
Untu
menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling
percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah,
sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang
sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak
golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak
menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main
Bersama
Semua
konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada
"oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk
melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep
etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara
kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa
yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika
etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya
sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi
Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari
etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini
sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan
etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya,
kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu :
1.Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan
korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam
perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang
moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan
individual sebagai keseluruhan.
3.
Individu
Permasalahan
individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu
tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas
keputusan, tindakan dan karakter individual.
E. Etika Bisnis Dalam Akuntansi
Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai Negara super
power dan juga kiblat ilmu pengetahuan termasuk displin ilmu akuntansi harus
menelan kepahitan. Skandal bisnis yang terjadi seakan menghilangkan kepercayaan
oleh para pelaku bisnis dunia tentang praktik Good Corporate Governance di
Amerika Serikat.
Banyak perusahaan yang melakukan kecurangan diantaranya adalah
TYCO yang diketahui melakukan manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan
penurunan aset), disamping melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing
termasuk salah satu perusahaan terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat
dinyatakan bangkrut setelah melakukan sejumlah investasi penuh resiko. Enron
yang hancur berkeping terdapat beberapa skandal bisnis yang menimpa
perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat. Worldcom juga merupakan salah satu
perusahaan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat melakukan manipulasi
keuangan dengan menutupi pengeluaran US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya
menuai keuntungan, padahal kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui
memanipulasi laporan keuangan dengan menerapkan standar akunting secara keliru
sehingga pembukuan perusahaan mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan
masih banyak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar